Selamat Datang di Blog Kami. Blog ini meyediakan berbagai macam informasi seputar Madura dalam bentuk media online yang memuat: Madura Zone, Artikel, Pendidikan, Budaya, Pariwisata, Kuliner, Berita, Dan lain-lain. Selamat berkunjung di blog kami!!!

Pengertian Agama, Pendidikan Multikultural, Pandangan Islam terhadap Pendidikan Multikultural

---
---
Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Pada prinsipnya, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang mengharagai perbedaan. Sehingga nantinya perbedaan tersebut tidak menjadi umber konflik dan perpecahan. Sikap saling toleransi inilah yang nantinya akan menjadikan keberagaman yang dinamis, kekayaan budaya yang menjadi jati diri bangsa yang patut untuk dilestarikan. oleh sebab itu, akan dibahas makalah dibawah ini terkait permasalahan tersebut.

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Pada prinsipnya, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang mengharagai perbedaan. Sehingga nantinya perbedaan tersebut tidak menjadi sumber konflik dan perpecahan. Sikap saling toleransi inilah yang nantinya akan menjadikan keberagaman yang dinamis, kekayaan budaya yang menjadi jati diri bangsa yang patut untuk dilestarikan.
Dalam pendidikan multikultural, setiap peradapan dan kebudayaan yang ada berada dalam posisi yang sejajar dan sama, tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi atau dianggap lebih tinggi (superior) dari kebudayaan yang lain, dialog meniscayakan adanya persamaan dan kesamaan diantara pihak-pihak yang terlibat, anggapan bahwa kebudayaan tertentu lebih tinggi dari kebudayaan yang lain  akan melahirkan fasisme, nativisme dan chauvinisme, dengan dialog diharapkan terjadi sumbang pemikiran yang pada gilirannya akan memperkaya kebudayaan atau peradaban yang bersangkutan sehingga nantinya terwujud masyarakat yang makmur, adil, sejahtera yang saling menghargai perbedaan.
Pluralisme dan multikultural memang dua hal yang berbeda tetapi anatara keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dan saling berkaitan. Dalam konteks masyarakat, masyarakat plural memang berbeda dengan masyarakat multikultural, tetapi masyarakat plural adalah dasar bagi berkembangnya masyarakat multikultural dimana masyarakat dan budaya berinteraksi dan berkomunikasi secara intens. Menjadi realitas yang tidak bisa dihindari bahwa selain plural secara agama, umat manusia juga majemuk secara budaya.
Dengan hal ini, maka penulis mencoba memaparkan beberapa hal penting yang berkenaan dengan agama dan pendidikan multikultural untuk memberikan pemahaman kepada pembaca tentang pentingnya bersikap saling menghargai.

B.  Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian agama?
2.    Apa pengertian pendidikan multikultural?
3.    Bagaimana pandangan agama Islam terahadap pendidikan multikultural?
4.    Bagaimana konsep dan metode dalam pendidikan Islam pluralis-multikultural?

C.  Tujuan
1.    Menjelaskan pengertian agama.
2.    Menjelaskan pengertian pendidikan multikultural.
3.    Menjelaskan pandangan agama Islam terhadap pendidikan multikultural.
4.    Menjelaskan konsep dan metode dalam pendidikan Islam pluralis-multikultural.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Agama
Agama berasal dari bahasa Sansekerta yang erat hubungannya dengan agama Hindu dan Budha. Dalam kepustakaan dapat dijumpai uraian tentang perkataan ini. Karena itu ada bermacam teori mengenai kata agama. Salah satu diantaranya mengatakan, akar kata agama adalah gam yang mendapat awalan a dan akhiran a sehingga menjadi a-gam-a. Akar kata itu kadang-kadang mendapat awalan i dengan akhiran yang sama, sehingga menjadi i-gam-a, kadang kala mendapat awalan u dengan akhiran yang sama, sehingga menjadi u-gam-a. Bahasa Sansekerta yang  menjadi asal perkataan agama, termasuk dalam rumpunan bahasa Indo-Jerman, serumpun dengan bahasa Belanda dan Inggris. Dalam bahasa Belanda kita temukan kata-kata ga, gaan dan dalam bahasa Inggris kata go yang artinya sama dengan gam, yaitu pergi. Namun, berubah menjadi jalan.[1]
Dalam hubungan dengan perkataan-perkataan di atas (agama, igama, dan ugama) dalam bahasa Bali ketiganya mempunyai makna berikut:
1.    Agama, artinya peraturan, tatacara, upacara hubungan manusia dengan raja.
2.    Igama, artinya peraturan, tatacara, upacara berhubungan dengan Dewa-Dewa.
3.    Ugama, artinya peraturan, tatacara dalam berhungan antar manusia.
Dalam kamus besar bahasa indonesia agama merupakan sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada tuhan yang mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta lingkungannya. Menurut Nasution menyatakan bahwa agama dipegang dan dipatuhi manusia.  Sedangkan menurut Michel Meyer berpendapat bahwa agama adalah sekumpulan kepercayaan dan pengajaran-pengajaran yang mengarahkan kita dalam tingkah laku kita terhadap Allah SWT, terhadap sesama manusia dan terhadap diri kita.
Jadi, agama merupakan segenap kepercayaan yang disertai dengan ajaran kebaktian dan kewajiban untuk menghubungkan manusia dengan tuhan yang berguna dalam mengontrol dorongan yang membawa masalah dan untuk memperbaiki diri agar menjadi lebih baik.
Selain dari arti agama yang telah disebutkan di atas, menurut teori ada beberapa arti lain yang dikandung oleh perkataan agama. Diantaranya adalah tradisi atau kebiasaan, yang dimaksud adalah tradisi atau kebiasaan dalam agama Hindu dan Budha. Setelah agama Islam datang ke Nusantara ini, masyarakat yang berbahasa Melayu mempergunakan perkataan agama juga untuk menunjukkan sistem ajaran yang dibawa oleh Islam. Sistem dan ruang lingkup ajaran agama Islam berbeda dengan sistem dan ruang lingkup ajaran agama Hindu dan Budha. Ajaran Islam tidak berasal dari tradisi, tetapi dari Allah melalui wahyu-Nya, mengatur tata hubungan manusia dengan Tuhan, dengan dirinya sendiri, dengan manusia lain dalam masyarakat dan dengan lingkungan hidupnya.
Dengan asal kata dan sistem serta ruang lingkupnya bahwa agama adalah “the problem of ultimate concern”: masalah yang mengenai kepentingan mutlak setiap orang. Oleh karena itu, menurut Paul Tillich, setiap orang yang beragama selalu berada dalam keadaan involved (terlibat) dengan agama yang dianutnya. Hal ini ditambah lagi dengan fakta bahwa dalam kenyataannya agama di dunia ini sangat beragam. Namun, karena ada segi-segi agama yang sama, suatu rumusan umum (sebagai definisi kerja) mungkin dapat dikemukakan agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan hubungan dengan Dia melalui upacara, penyembahan dan permohonan, dan membentuk sikap hidup manusia menurut atau berdasarkan agama itu sendiri.[2]
Selain segi-segi persamaan, antara agama yang beragam itu terdapat juga perbedaan-perbedaan, seperti yang telah disebutkana di atas. Dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu dalam masyarakat majemuk karena beragamnya agama di tanah air kita sikap yang perlu ditegakkan oleh pemeluk agama adalah sikap “agree in disagreement , sikap setuju (hidup bersama) dalam perbedaan”.[3]  

a.      Pengertian Pendidikan Multikultural
Secara etimologi pendidikan multikultural berasal dari dua kata yaitu pendidikan dan  multikultural pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran, pelatihan, proses dan cara mendidik, sedangkan multikultural diartikan sebagai keragaman kebudayaan. Secara terminologi pendidikan multikultural berarrti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran.
Menurut pendapat Andersen dan Cusher bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Sedangkan James Banks mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan. Kemudian, bagaimana kita mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat. Sejalan dengan pemikiran diatas, Muhaemin el-Ma’hady berpendapat bahwa secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keberagaman kebudayan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menekankan kesederajatan dalam perbedaan-perbedaan kebudayaan atau latar belakang peserta didik.[4]
Dalam bukunya Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process and Content, Hilda Hernandes menjelaskan bahwa ruang pendidikan sebagai media tranformasi ilmu pengetahuan hendaknya mampu memberikan nilai-nilai multikulturalisme dengan cara saling menghargai dan menghormati atas realitas yang bergam baik latar belakang maupun berbasis sosio budaya yang melingkupinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire bahwa pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya harus menciptakan tatanan masyarakatyang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya. Pendidikan multikultural merupakan respons terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Sedangkan secara luas, pendidikan multikultural itu mencangkup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnis, ras, budaya, sastra sosial, dan agama.[5]
Jadi, pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang memproses seseorang atau menanamkan nilai-nilai untuk saling menghormati, tulus, serta toleran terhadap berbagai keberagaman budaya. Sehingga nantinya akan menimbulkan rasa saling menghargai, menghormati dan toleran.

     b.      Pandangan Agama Islam Terhadap Pendidikan Multikultural
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang paling sempurna. Makhluk lain tidak ada yang memiliki kesempurnaan, baik ditinjau dari aspek fisik maupun psikisnya, sebagaimana kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia. Anugerah pealing agung yang diterima manusia dan anugerah ini tidak diterima oleh makhluk lainnya adalah kemampuan intelektualitas. Dengan anugerah intelektual manusia mampu menghasilkan cipta, karya dan karsa yang beranika ragam. Berbagai bentuk karya banyak dihasilkan manusia, baik bahasa, budaya, etnitas, bahkan dalam hal memilih keyakinan.
Dalam pandangan ajaran Islam, pluralitas merupakan sunnatullah yang tidak bisa dipungkiri. Justru dalam pluralitas tersebut terkandung nilai-nilai penting bagi pembangunan keimanan.[6] Sesuai dengan QS. Al-Rum ayat 22
 “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”. (QS. Al-Rum ayat 22)
Sejak awal perkembangannya, Islam telah menjadi agama dan peradaban yang senantiasa bersentuhan dengan agama dan peradaban lain. Di awal pertumbuhan dan perkembangannya, Islam berhadapan dengan budaya dan peradaban masyarakat Arab jahiliah yang menganut kepercyaan paganism. Nabi Muhammad Saw. sebagai pembawa pesan (risalah)  dan ajaran Allah berusaha meluruskan dan membenahi akidah masyarakat Arab pada waktu itu dengan tetap menjalin hubungan baik dengan mereka.[7] 
Secara fungsional, pendidikan pada dasarnya ditujukan untuk menyiapkan manusia menghadapi masa depan agar hidup lebih sejahtera, baik sebagai individu maupun secara kolektif sebagai warga masyarakat, bangsa maupun antar bangsa. Bagi pemeluk agama, masa depan mencakup kehidupan di dunia dan pandangan tentang kehidupan hari kemudian yang bahagia (Umaedi, 2004).4
Dalam Islam, pendidikan multikultural memiliki landasan dalam Piagam Madinah, kemudian menjadi rujukan suku dan agama pada waktu itu dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat. Piagam Madinah juga menjadi rujukan orang-orang yang ingin menjelaskan sistem pemerintahan dan ketatanegaraan Islam. Landasan multikultural juga bisa dilacak pada akhlak dan kepribadian Rasulullah SAW. Muhammad seorang manusia multikultural. Beliau sangat menghormati hak asasi manusia dan menjunjung tinggi perbedaan, seperti diakui oleh beberapa Rohaniawan non muslim, seperti Uskup Sidon Paul of Antioch, Theodore Abu Qurrah, Kenneth Cragg, dan beberapa sarjana barat, seperti William Muir, dan Montgomery Watt. Kenyataan bahwa Piagam Madinah dan pribadi Rasulullah menjadi landasan multikultural, dan Al-Quran sebagai muara landasan. Alasannya adalah:
a.    Piagam Madinah diajukan oleh Rasullah sebagai acuan hidup bermasyarakat karena dukungan ayat-ayat Madaniyah.
b.    Ada keterangan yang menyatakan bahwa akhlak Rasulullah adalah Al-Quran. Artinya, kedua alasan ini menegaskan bahwa landasan pendidikan multikultural dalam Islam adalah al-Quran (Azyumardi Azra, 2000).
      Dalam Al-Qur’an surat Al-Hujuraat ayat 13 Allah berfirman:  
Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari asal yang sama sebagai keturunan Adam dan Hawa yang tercipta dari tanah. Seluruh manusia sama di hadapan Allah, manusia menjadi mulia bukan karena suku, warna kulit ataupun jenis kelamin melainkan karena ketaqwaannya. Kemudian dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Tujuan penciptaan semacam itu bukan untuk saling menjatuhkan, menghujat, dan bersombong-sombongan melainkan agar masing-masing saling kenal-mengenal untuk menumbuhkan rasa saling menghormati dan semangat saling tolong-menolong. Dari paparan ayat ini dapat di pahami bahwa agama Islam secara normatif telah menguraikan tentang kesetaraan dalam bermasyarakat yang tidak mendiskriminasikan kelompok lain.
Perspektif Islam dalam rangka membangun keberagamaan inklusif yang bisa dikembangkan dengan nuansa multikultural, antara lain: 
1.    Pemahaman dan penanaman sikap ketika berinteraksi dengan orang yang berlainan agama (sikap toleran), adanya pluralitas dan berlomba dalam kebaikan yaitu: 
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Al-Baqarah/2: 148).
2.    Pengakuan koeksistensi damai dalam hubungan antar umat beragama:
 “8. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.
9. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”
Kemudian Allah menjelaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 213:
Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa sumber perselisihan, permusuhan dan perpecahan di kalangan umat beragama adalah  bukan karena ajaran agama yang dianutnya melainkan karena rasa dengki yang membuat mereka mengabaikan ajaran agamanya masing-masing. Seandainya mereka menghilangkan rasa dengkinya dan murni mengamalkan ajaran agamanya, niscaya tidak terjadi perslisihan semacam itu. Karena, semua agama mengajarkan pemeluknya untuk menjadi umat yang baik dan menghargai orang lain.
3.    Keadilan dan persamaan:
 “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan” (An-Nisa’/4: 133).
      Orientasinya Pendidikan Islam Multikultural adalah tertanamnya sikap simpati, respek, apresiasi (menghargai), dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda untuk meningkatkan kadar taqwa kita di sisi Allah. Karena Allah tidak melihat darimana manusia berasal, seberapa tampan atau cantik, seberapa kaya, seberapa tinggi pangkat/jabatan, seberapa kuat badannya, tapi yang dilihat Allah adalah seberapa besar tingkat takwanya.[8] Untuk mewujudkan Pendidikan Islam Multikultural dapat ditempuh sbb, diantaranya:
1.     Pendidikan Islam multikultural (PIM) mengakui budaya lokal dan menghormati budaya global. Artinya, pendidikan Islam multikultural mengakui adanya realitas budaya lokal sebagai sesuatu yang bisa mewarnai pendidikan Islam. Di sisi lain, PIM juga tidak menafikan budaya global yang juga bisa menambah gairah pendidikan Islam. Ketika kedua budaya tersebut bersitegang, maka peran PIM ini mencari jalan tengah untuk “mendamaikan”keduanya.
2.    PIM mencoba mensiasati problem-problem pendidikan atau kemanusiaan lain yang sulit untuk diselesaikan. Ini terkait dengan maraknya benturan-benturan ideologi, keyakinan, dan cara pandang dan bagaimana PIM mensiasati benturan-benturan tersebut. Contoh kasus pelaksanaan ujian nasional (UN). Ada ketegangan antara pemerintah, sebagai pembuat kebijakan UN dengan sebagian elemen masyarakat dalam melihat pelaksanaan UN. Pemerintah tetap mengharuskan UN sementara elemen masyarakat tersebut tetap menolak UN. PIM bisa mensiasati ketegangan ini dengan mengajukan rumusan pelaksanaan UN baru, yaitu UN tetap dilaksanakan tapi tidak menjadi salah satu penentu kelulusan.
3.    PIM menjadikan globalisasi bukan sebagai musuh tapi sebagai penyeimbang bagi budaya lokal. Ini sejalan dengan konsep PIM sebagai jalan tengah. Artinya posisi, PIM itu tidak mesti menjadi salah satu pendukung globalisasi atau budaya lokal, tapi mengambil peran sebagai fasilitator bagi globalisasi dan budaya lokal. Contohnya ketika globalisasi, di satu sisi, mendorong penggunaan teknologi dalam semua ranah kehidupan, dan di sisi lain, keyakinan akan bahaya teknologi bagi moralitas anak terus dipegang erat oleh masyarakat di perkampungan misalnya, maka PIM menjadi penyeimbang dengan mempersilahkan penggunaan teknologi di masyarakat perkampungan dan mendorong perbaikan metodologi pengajaran al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lain di perkampungan agar pemahaman terhadap agama semakin baik dan kesadaran tentang moralitas menjadi semakin tinggi.
4.    PIM mendorong pluralisme bukan semata-mata sebagai pengakuan terhadap perbedaan dan kemajukan, namun dalam prakteknya menerima perbedaan tersebut secara legowo dan melakukan perubahan dalam cara bertindak. Artinya, pluralisme yang “proyeknya” belum final pada era modernisme itu, didorong untuk menuntaskan proyek tersebut sehingga menghasilkan perubahan yang jelas bagi masyarakat. Kalau pluralisme hanya sebatas gagasan, maka PIM ini melakukan kerja nyata. Contoh apakah masyarakat Indonesia bisa menerima seorang presiden non-muslim, namun bisa mensejahterakan rakyat? Tugas PIM untuk melakukan perubahan terhadap cara pandang masyarakat tersebut, sehingga ukuran utama seorang presiden tersebut bukan didasarkan pada latar belakang agama, namun pada tingkat kemampuan memajukan masyarakat.
5.    PIM “melawan” keinginan pemerintah, tokoh pendidikan, atau siapapun yang mencoba melakukan penyeragaman dalam pendidikan. Ini bisa sejalan dengan konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Kedua konsep ini mendorong keragaman proses pembelajaran di setiap sekolah.Rumusan kelima ini memerlukan keberanian dan energi yang lebih untuk “melawan” kebijakan-kebijakan pendidikan yang tidak pro rakyat.
6.    PIM membuka perbedaan seluas-luasnya dan memberikan pemahaman bagaimana seharusnya menghadapi perbedaan tersebut. Rumusan terakhir menjelaskan bahwa perbedaan itu sebuah realitas kemanusiaan dan bagaimana masyarakat bisa memahami realitas tersebut dan mempraktekan pemahaman tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menuju pendidikan Islam multikultural diperlukan kesadaran tentang konsep dan arah multikultural dari semua elemen pendidikan; pemerintah, masyarakat, pimpinan sekolah, orang tua, guru, dan siswa. Kesadaran tersebut, menurut Aurobindo (seorang filosof Hindu Mutakhir) harus berawal dari tingkat kesadaran utama, yang berpuncak pada supermind, yaitu:
a.    Keesaan Tuhan direalisasikan melalui keragaman.
b.    Setiap individu selaras dengan nilai-nilai universal.
c.    Kehendak individu direfleksikan lewat perubahan yang konkret historis. Konsep kesadaran ini relevan dengan konsep pendidikan pembebasan yang mendorong usaha penyadaran manusia tentang realitas dirinya.
Paulo Freire menjelaskan bahwa karena pendidikan menggarap realitas manusia, maka secara metodologis, ia harus disandarkan pada prinsip aksi dan refleksi yang dinamakan sebagai praksis, yaitu aksi dalam pengertian mengubah realitas, dan di sisi lain-yang ia sebut sebagai refleksi-terus menerus menumbuhkan kesadaran untuk merubah realitas tersebut.[9]

B.  Konsep dan Metode dalam Pendidikan Islam Pluralis-Multikultural
1.    Konsep pendidikan pluralis-multikultural
Ada dua hal yang harus dilakukan untuk mewujudkan pendidikan Islam pluralis multikultural. Kedua hal ini bersipat konseptual dan metodologis, yang nanti bisa dikembangkan dan diturunkan menjadi langkah-langkah praktis, yaitu:
a.       Birokrat pendidikan, guru, dan siswa harus mampu mengakses informasi tentang isu-isu multikultural, baik dari media massa maupun lewat forum diskusi, sehingga mereka tumbuh menjadi seorang figur multikultural. Mereka harus aktif membaca buku dan mengikuti perkembangan informasi lewat media massa. Ketika birokrat pendidikan menjadi seorang figur multikultural, maka kebijakan pendidikan, termasuk produk hukum pun akan mendukung multikultural. Begitupun guru dan siswa. Ketika mereka tumbuh menjadi figur multikultural, maka proses pengaran dan pembelajaran pun akan memuat nilai-nilai multikultural.
b.      Kegiatan multikultural adalah bagian dari nilai spiritual. Oleh karena itu, siswa harus diberikan penjelasan tentang nilai-nilai spiritual dari kegiatan yang mereka lakukan tersebut. Sehingga setiap saat mereka akan dihadapkan pada kesadaran spiritual. Sebagai contoh guru mengajak diskusi tentang pentingnya membersihkan lingkungan, menghormati orang yang berbeda agama. Guru mengajak siswa menonton film atau acara-acara televisi yang memuat wawasan dan nilai-nilai kemanusiaan. Ia menjelaskan bahwa ketiga hal tersebut merupakan. bagian dari nilai-nilai multikultural dan refleksi dari ibadah kepada Tuhan.[10]
Semangat multikulturalisme ini ternyata dijunjung tinggi oleh Islam. Sebuah potret sejarah perjuangan dakwah Islam bisa dijadikan buktinya. Sejak awal, Islam datang tidak membawa pedang atau senapan. Islam datang dengan damai. Para wali yang menyebarkan Islam di Jawa mengadopsi beberapa peninggalan Hindu seperti wayang untuk kepentingan penyebaran agama. Sunan kalijaga juga tidak sungkan membakar kemenyan untuk kepentingan pengharum ruangan meski kemenyan tidak diidentik dengan agama Islam.[11]
Sebagai bukti juga di kudus terdapat bangunan Menara Masjid Kudus yang memadukan unsur Hindu dan Islam yang bagus dipandang. Serta sunan kudus juga melarang orang-orang Islam menyembelih sapi untuk untuk menghormati pemeluk Hindu, karena sappi merupakan hewan yang disucukan oleh pemeluk Hindu.
Para founding father Indonesia juga member contoh nyata dalam menjungjung tinggi semangat multikulturalisme. Para founding father Muslim tidak bersikeras memperjuangkan negara Indonesia menjadi negara Islam untuk menghormati pemeluk agama lain di Indonesia Timur. Mereka dengan ikhlas mencoret tujuh kata dalam piagam Jakarta yang dianggap menganakemaskan Islam.
Kenyataan menarik ini juga memperlihatkan kepada kita bahwa para founding father tidak alergi dengan symbol-simbol agama lain dan menghormati symbol-simbol seperti menghormati symbol-simbol agama sendiri. Maka dari itu, kita sebagai pemeluk agama Islam yang berada dalam negara yang notabene-gnya beragam agama harus menghormati apa yang menjadi budaya-budaya masing-masing agama, karena Islam sendiri mewajibkan kita untuk saling menghormati satu  sama lain.
Ada beberapa aspek yang dapat dikembangkan dari konsep pendidikan Islam pluralis-multikultural, antara lain:
a.    Pendidikan Islam pluralis-multikultural adalah pendidikan yang menghargai dan merangkul segala bentuk keragaman. Dengan demikian, diharapkan akan tumbuh kearifan dalam melihat segala bentuk keragaman yang ada.
b.    Pendidikan Islam pluralis-multikultural merupakan sebuah usaha sistematis untuk membangun pengertian, pemahaman, dan kesadaran anak didik terhadap realitas pluralis-multikultural. Hal ini penting dilakukan karena tanpa adanya usaha secara sistematis, realitas keagamaan akan dipahami secara sporadis, fragmentaris, atau bahkan memunculkan eksklusivitas yang ekstrem.pada titik ini, keragaman dinilai dan dilihat secara inferior. Bahkan tumbuh keinginan untuk melakukan penguasaan dan ambisi menaklukkan mereka yang berbeda.
c.    Pendidikan Islam pluralis-multikultural tidak memaksa atau menolak anak didik karena persoalan identitas suku, agama, ras, atau golongan. Dalam kondisi semacam ini, tidak ada yang lebih unggul antara satu anak didik dengan anak didik yang lain. Masing-masing memiliki posisi yang sama dan harus memperoleh perlakuan yang sama.
d.   Pendidikan Islam pluralis-multikultural memberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembangannya sense of self kepada setiap anak didik. Ini untuk membangun kepercayaan diri, terutama bagi anak didik yang berasal dari kalangan ekonomi kurang beruntung, atau kelompok yang relatif terisolasi.[12]
Dengan demikian, Pendidikan Islam pluralis-multikultural ini bisa  dikatakan terinspirasi oleh gagasan Islam tranformatif. Islam transpormatif berarti Islam yang selalu beorientasi pada upaya untuk mewujudkan cita-cita Islam, yakni membentuk dan mengubah keadaan masyarakat kepada cita-cita Islam, yaitu membawa rahmat bagi seluruh alam. Dengan mengacu kepada tujuan ini, Pendidikan Islam pluralis-multikultural bertujuan untuk menciptakan sebuah masyarakat damai, toleran, dan saling mengahargai dengan berlandaskan kepada nilai-nilai keTuhanan.
Untuk mencapai tujuan pendidikan Islam pluralis-multikultural ini maka yang menjadi ujung tombaknya adalah pendidik. Tugas pendidik adalah memilih metode dan strategi yang tepat dalam mengawetkan, memelihara, melanggengkan, serta mewariskan ilmu pengetahuan, kebenaran, dan tradisi yang diyakini sekaligus juga menyadari sepenuhnya keberadaan tradisi lain. Tujuan pendidikan Islam pluralis-multikultural bukan untuk membuat suatu kesamaan pandangan, apalagi keseragaman, karena ini adalah sesuatu yang absurd dan agak mengkhianati tradisi suatu agama.
2.      Metode pendidikan Islam pluralis-multikultural
Adapun metode yang dapat diterapkan dalam pendidikan Islam pluralis-multikultural cukup beragam, antara lain sebagai berikut:
a.    Metode dialog
Metode dialog ini sangat efektif, apalagi dalam proses belajar mengajar yang sifatnya kajian perbandingan agama dan budaya. Sebab, dengan dialog memungkinkan setiap komunitas yang notabene-nya memiliki latar belakang agama yang berbeda dapat mengemukakan pendapatnya secara argumentatif. Dalam prose inilah natinya diharapkan adanya sikap lending and borrowing serta saling mengenal antartradisi dari setiap agama yang dipeluk oleh masing-masing anak didik. Sehingga bentuk-bentuk truth claim dan salvation claim dapat diminimalkan bahkan dihilangkan.
Metode dialog ini pada akhirnya akan dapat memuaskan semua pihak, sebab metodenya telah mensyaratkan setiap pemeluk agama untuk bersikap terbuka (open minded). Di samping juga untuk bersikap objektif dan subjektif sekaligus.
b.    Metode belajar aktif (collaborative learnig)
Belajar aktif adalah belajar dengan memperbanyak aktivitas peserta didik dalam mengakses berbagai informasi dari berbagai sumber, buku teks, perpustakaan, internet, atau sumber-sumber belajar lainnya, untuk mereka bahas dalam prose pembelajaran di kelas. Dengan demikian, mereka akan meperoleh berbagai pengalaman yang tidak saja menambah kompetensi pengetahuan mereka, tetapi juga akan menambah kemampuan mereka untuk melakukan analisis, sintesis, dan menilai informasi yang relevan untuk dijadikan sebagai nilai baru dalam hidupnya yang kemudian diimitasi dan dibiasakan dalam kehidupannya. Belajar dengan model ini bisa disebut dengan self discovery learning, yaitu belajar dari penemuan mereka sendiri.
Pada model ini belajar semacam ini, tugas guru adalah harus mampu menjelaskan tugas apa yang harus dilakukan oleh peserta didik, tujuannya apa, kemana mereka harus mencari informasi, bagaimana mengolah informasi tersebut dan membahasnya dalam kelas, sampai mereka memiliki kesimpulan dalam kelompoknya masing-masing. Dalam proses inilah guru harus terus memberikan bimbingan dan arahan.
Sedangkan collaborative learning adalah proses pembelajran yang dilakukan secara bersama-sama antara guru dan peserta didik. Pada posisi ini, guru adalah pembelajar senior yang harus mentransformasikan pengalaman belajarnya kepada peserta didik. Guru harus dapat membantu berbagai kesulitan yang dihadapi peserta didik. Demikian pula diantara sesama peserta didik.
c.    Metode ceramah
Metode ceramah ini efektif dalam menyampaikan pengetahuan dan informasi yang beragam, namun memiliki keterbatasan waktu. Metode ini lebih efektif dengan dibangunnya iklim yang kondusif bagi Tanya jawab. Strategi ini penting dilakukan, karena dapat meningkatkan pemahaman dan pengetahuan peserta didik.[13]
Metode merupakan sarana yang penting dalam mencapai tujuan pembelajaran. Dalam pembelajaran yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai pluralis-multikultural, metode-metode sebagai diuraikan di atas dapat menjadi pilihan bagi guru dalam proses pembelajaran, sekaligus membuka peluang bagi  guru untuk mengembangkan metode lain yang diyakini dapat mencapai tujuan. Sebab, pada dasarnya tidak ada metode yang sempurna. Disinilah tugas guru memilih metode yang tepat sehingga bisa sangat menentukan keberhasilan mencapai tujuan pembelajaran.

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Agama merupakan jalan, tatacara, atau peraturan dalam kehidupan manusia. Sedangkan pendidikan multikultural pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang memproses seseorang atau menanamkan nilai-nilai untuk saling menghormati, tulus, serta toleran terhadap berbagai keberagaman budaya. Sehingga nantinya akan menimbulkan rasa saling menghargai, menghormati dan toleran.
Dalam pandangan ajaran Islam, perbedaan merupakan sunnatullah yang tidak bisa dipungkiri. Justru dalam pluralitas tersebut terkandung nilai-nilai penting bagi pembangunan keimanan. Dalam Islam, pendidikan multikultural memiliki landasan dalam Piagam Madinah, kemudian menjadi rujukan suku dan agama pada waktu itu dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat. Piagam Madinah juga menjadi rujukan orang-orang yang ingin menjelaskan sistem pemerintahan dan ketatanegaraan Islam. Landasan multikultural juga bisa dilacak pada akhlak dan kepribadian Rasulullah SAW. Muhammad seorang manusia multikultural. Beliau sangat menghormati hak asasi manusia dan menjunjung tinggi perbedaan, seperti diakui oleh beberapa Rohaniawan non muslim, seperti Uskup Sidon Paul of Antioch, Theodore Abu Qurrah, Kenneth Cragg, dan beberapa sarjana barat, seperti William Muir, dan Montgomery Watt. Kenyataan bahwa Piagam Madinah dan pribadi Rasulullah menjadi landasan multikultural, dan Al-Quran sebagai muara landasan.
Sesuai dengan isi Al-Qur’an surat Al Hujuraat ayat 13 Allah berfirman yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Sedangkan konsep dalam pendidikan Islam pluralis-multikultural diantaranya pendidikan yang mampu menghargai dan merangkul segala bentuk keragaman. Dengan demikian, diharapkan akan tumbuh kearifan dalam melihat segala bentuk keragaman yang ada.
Adapun metode pembelajaran yang dapat dijadikan pandangan dalam pendidikan Islam pluralis-multikultural, yaitu:
1.    Metode dialog
2.    Metode belajar aktif
3.    Metode ceramah
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad Daud. “Pendidikan Agama Islam”. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013.
Mahfud, Choirul. “Pendidikan Multikultural”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.
Naim, Ngainum dan Achmad Sauqi. “Pendidikan multikultural konsep dan aplikasi”. Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2008.
Hilmy. Menggagas Paradigma Pendidikan Berbasis Multikulturalisme”. STAIN. Vol. VII. Edisi 12. No. 12: Jurnal Ulumuna.Mataram, Juli-Desember, 2003.
Suwito dan Fauzan. “Sejarah Sosial Pendidikan Islam”. Jakarta: Prenada media, 2005.
Zubaedi. “Islam: Benturan dan Antarperadaban”. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007..





[1]Mohammad Daud Ali, “Pendidikan Agama Islam”, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 35.
[2]Ibdi., hlm. 37.
[3]Ibdid.,
[4]Suwito dan Fauzan, “Sejarah Sosial Pendidikan Islam”, (Jakarta: Prenada media, 2005), hlm. 25-26.
[5] Choirul Mahfud, “Pendidikan Multikultural”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 176-177
[6] Ngainum Naim dan Achmad Sauqi, “Pendidikan Multikultural Konsep Dan Aplikasi”, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2008), hlm. 129.
[7]Ibid., hlm. 129-130.
[8]Hilmy, Menggagas Paradigma Pendidikan Berbasis Multikulturalisme”, (STAIN. Vol. VII. Edisi 12. No. 12: Jurnal Ulumuna Mataram, Juli-Desember, 2003).
[9]Ibdi,.
[10]Ibid.,
[11]Zubaedi, “Islam: Benturan dan Antarperadaban”, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 56.
[12] Ngainum Naim dan Achmad Sauqi, hlm. 53-55.
[13]Ibid., hlm. 55-59.
---
Tag : pendidikan
0 Komentar untuk "Pengertian Agama, Pendidikan Multikultural, Pandangan Islam terhadap Pendidikan Multikultural"

Back To Top