postingan ini adalah tentang fiqh dan ushul fiqh, bagi yang beragama islam pembahasan ini sangat baik untuk dipelajari. karena fiqh dan ushul fiqh ini adalah syariat agama islam yang berisikan tentang aturan syariat. untuk lebih jelasnya, sahabat pembaca langsung saja ke inti pembahasa makalah dibawah ini. terima kasih.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Masyarakat memahami Fiqh
sebagai hukum Islam, Pemahaman demikian tidak salah, tetapi penjabaran
lebih lanjut karena tidak semua hukum Islam adalah fiqh. Fiqh hanya menunjuk
hukum Islam yang diperoleh melalui proses ijtihad, sedangkan hukum Islam yang
diperoleh dari petunjuk yang sangat jelas dan pasti (qath‘i) dari Alquran atau
hadits biasa disebut syariat.
Sedangkan Ushul fiqh adalah bagian penting
dalam tradisi keilmuan Islam, khususnya dalam bidang hukum. Ushul fiqh terkait
erat dengan fiqh, yang oleh orang Barat disebut dengan the queen of islamic
sciences (ratunya ilmu-ilmu keislaman). Ushul fiqh dan fiqh adalah dua sisi
mata uang yang tidak dapat terpisahkan. hubungan keduanya seperti layaknya
hubungan produk dengan sarana mengolahnya. Sebuah produk tentu memiliki sarana
untuk mengolahnya. Suatu produk tentu diolah dari bahan-bahan dengan cara
(resep) tertentu.
B.
Rumusan
masalah
1.
Apa
pengertian fiqih dan ushul fiqh?
2.
Perbedaan
antara fiqih dan ushul fiqh?
3.
Tujuan
belajar ilmu fiqih dan ushul fiqh?
4.
Objek
kajian fiqih dan ushul fiqh?
C.
Tujuan
masalah
Tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui tentang
seluk beluk fiqh dan ushul fiqh dan apa yang terdapat didalamnya serta
permasalahan yang terdapat pada fiqih
dan ushul fiqh.
BAB
II
PEMBAHASAN
Fiqih
Dan Ushul Fiqh
1.
Pegertian Fiqih, Ushul Fiqih dan Syariat
a.
Pengertian fiqih
Fiqih menurut bahasa artinya al-fahm (الفهم)
atau paham. (الفقه) menurut istilah mutasyarri’in
(ahli syari’ah) adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat aplikatif
yang digali dari dalil-dalil yang terperinci (الأدلة
التفصيلية المستنبطة من العلم بالأحكام الشرعية
العملية Ruang lingkup fiqih terbatas pada
hukum-hukum yang bersifat aplikatif dan furu’iy (cabang) dan tidak
membahas perkara-perkara i’tiqad (keyakinan).[1]
Berdasarkan pengertian di atas, tampak bahwa
fiqh memiliki beberapa ciri khas:
1.
Pengetahuan
mengenai hukum-hukum syar‘i, bukan hukum aqli (hukum akal) atau
hukum ‘addi (hukum adat). Hukum syar‘i adalah hukum yang
sumbernya Alquran dan sunnah. Sementara itu, hukum ‘aqli bersumber dari
akal dan hukum ‘addi bersumber dari adat.
2.
Bersifat
amaliyah atau menyangkut perbuatan lahiriyah, bukan bersifat perasaan, hati,
atau pikiran. Jadi, yang diatur oleh fiqh adalah amalan lahiriyah. Sebagai
perkecualian, ada satu bahasan dalam fiqh yang bersifat hati, tentang niat.
3.
Diperoleh
melalui ijtihad, yaitu dari upaya ahli hukum (mujtahid) melakukan
kerja ilmiah untuk menggali hukum dari ayat-ayat Alquran dan sunnah. Karena
berasal dari ijtihad, fiqh bersifat dzanni (prasangka yang
didukung bukti). Hal itulah yang membedakan antara fiqh dengan syariat, yaitu
hukum-hukum yang diperoleh dari dalil-dalil qath‘i, seperti wajibnya
shalat, zakat, puasa, dan haji. Adapun ketentuan mengenai iftitah, qunut,
dan rincian shalat bersifat dzanni.
4.
Berasal
dari dalil-dalil rinci dari Alquran dan sunnah. Dalil-dalil rinci adalah
dalil-dalil yang membahas perkasus mengenai suatu persoalan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fiqh adalah
mengetahui hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyah melalui ijtihad dari
dalil-dalil rinci Alquran dan sunnah. Fiqh bersifat dzanni (prasangka
yang didasari bukti dan argumentasi).
Sebagai contoh, masalah larangan riba yang didasarkan
kepada dalil khusus, yaitu firman Allah swt,“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali Imran: 130)
Ayat ini merupakan dalil khusus yang berisi larangan
memakan riba. Kata berlipat ganda di sini bukan berarti riba yang sedikit
diperbolehkan. Kata berlipat ganda di sini hanyalah untuk menjelaskan kondisi
riba saat jahiliyah
Adapun wilayah fiqih berupa amal atau perbuatan manusia
mukalaf. Fiqih membahas jual beli, sewa menyewa, gadai, perwakilan, shalat,
puasa, pembunuhan, pencurian dan lain sebagainya. Semua itu didasarkan kepada
dalil-dalil yang bersifat khusus dari Al-Qur`an maupun hadits.
b.
Pengertian Ushul Fiqih
Ushul Fiqh terdiri atas dua kata, yang masing-masing
mempunyai pengertian luas, yaitu : ushul dan fiqh .
dalam bahasa arab, ushul merupakan jamak dari asl yang mengandung arti “tempat
berdirinya sesuatu, jadi asal itu sama dengan pangkal, pokok,dasar. Misalanya
fondasi adalah tempat rumah didirikan : akar adalah penguat tegaknya pohon dan
lain sebagainya[2].
“secara terminology, kata asl mempunyai beberapa pengertian :
1.
dalil (
landasan Hukum ), seperti ungkapan para ulama ushul fiqh, “Ashl dari wajibnya
shalat adalah firman allah dan sunnah rasul.” Maksudnya, yang menjadi dalil
kewajiban shalat adalah ayat al –qur’an dan sunnah.
- Qaidah (dasar, fondasi)
- Rajih ( yang terkuat ) maksudnya setiap perkataan menjadi patokan makna hakikat dari perkataan itu.
- faru’ (cabang )
- mustashhab ( Memberlakukan hukum yang ada sejak semula, selama tidak ada dalil yang merubahnya ).
Adapun fiqih, artinya sebagaimana yang telah kami
jelaskan di atas. Dengan demikian ushul fiqih menurut istilah adalah ilmu yang
membicarakan dalil-dalil umum, cara menggunakan dalil-dalil umum itu dan
syarat-syarat orang yang menggunakan dalil-dalil itu atau (mujtahid).
Contoh dalil umum, suatu kaedah yang berbunyi, “Larangan
menunjukkan hukum haram (an-nahyu yadululla ala at-tahrim).” Jika ada
nash baik dari Al-Qur`an maupun hadits yang berisi larangan, itu menunjukkan
haram. Larangan memakan riba, larangan mminum khamar, larangan menyembelih
karena selain Allah, larangan jual beli yang mengandung unsur tipuan dan
sebagainya menunjukkan bahwa hal-hal tersebut adalah haram.
Cara menggunakan dalil-dalil umum itu maksudnya
sikap-sikap yang kita ambil ketika kita menemukan dua dalil yang saling
bertentangan. Misalnya, suatu saat nabi saw mengatakan bahwa bekam itu
membatalkan puasa, namun pada saat yang lain beliau berbekam saat berpuasa.
Orang yang menggali hukum dari dalil-dalil Al-Qur`an dan
hadits wajib memenuhi syarat-syarat agar hukumnya benar atau mendekati
kebenaran. Artinya ia harus ahli di dalam hal itu. Adapun orang yang tidak ahli
tidak boleh menggali hukum langsung dari Al-Qur`an dan hadits.
2.
Perbedaan antara ilmu fiqh dan ushul fiqh
Kalau
ilmu fiqh berbicara tentang hukum dari sesuatu perbuatan, maka ilmu ushul fiqh berbicara tentang
metode dan proses bagaimana
menemukan hukum itu sendiri. Atau dilhat dari sudut aplikasinya, fiqh akan menjawab
pertanyaan “ Apa hukum dari suatu perbuata” dan ushul fiqh akan menjawab
pertanyaan “ bagaimana cara atau proses menemukan hukum yang digunakan sebagai
jwaban permasalahan yang dpertanyakan tersebut”. Oleh karena itu fiqh lebiih
bercorak produk, sedangkan ushul fiqh lebih bermakna metodologis. Dan oleh sebab itu, fiqih terlihat
sebagai koleksi prodak hukum, sedangkan ushul fiqh merupakan koleksi metodis yang sangat
diperlukan untuk produk hukum[3]
3.
Obyek pembahasan dan tujuan mempelajari fiqih dan ushul fiqih
a.
Objek kajian Fiqih
Pada pokonya yang menjadi pembahsan dalam
ilmu fiqh adalah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara” , perbuatan tersebut dapat
dikelompokkan dalam tiga kelompok besar, ibadah, muamalah dan uqubah[4]
Yang dibahas oleh fiqih adalah
perbuatan-perbuatan mukallaf[5]
dari jurusan hukum. Hukum yang lima diantaranya : 1.Ijab (wajib)
2.Nadb (sunat) 3.Tahrim (haram) 4.Karahah (makruh) 5.Ibahah (Mubah), ada pula
dalam bentuk yang lain seperti sah, batal, benar, salah,
berpahala, berdosa dan sebagainya. Hukum mempelajari Fiqih, diantaranya : Wajib, seperti mempelajari tata
cara shalat, puasa, dll.dan Wajib Kifayah, yaitu bagi sebagian orang , seperti
mengetahui masalah pasakh, ruju’, syarat menjadi qodhi atau hakim dan lainnya.
b.
Objek pembahasan Ushul Fiqh
Setiap ilmu pasti memiliki kejelasan obyek
kajiannya. Ushul fiqh pun demikian. Masalah yang dibahas dalam ilmu
ushul fiqh, ialah cabang-cabang hukum syara dengan maksud untuk diselidiki,
seperti perintah Allah untuk diselidiki pakah wajib, atau sunnah dan larangan
Allah apakah menujukkan haram atau makruh. Oleh karena baik yang wajib maupun
yang sunnah keduanya merupakan perintah Allah sedangkan haram atau makruh
merupakan larangan Allah,
Demikian pula tentang amal perbuatan, apakah
halal karena tidak ada illat yang menyebabkan terlarangnya atau mengenai suatu hukum
setelah dihubungkan dengan illatnya. Misalnya minuman keras haram diminum
karena memabukkan cuka yang asalnya dari tuak halal diminum karena tidak
memabukkan, jadi yang menjadikan haram itu karena illatnya yaitu yang
memabukkan dan tiada haramnya cuka itu karena tidak ad illat bagi cuka, karena
itu hukum berlaku, tersangkut paut dengan illatnya, ada illat ad hukum hilang
illat hilanglah hukum.[6]
Yang dibahas didalam ushul
fiqh juga Masalah syar'iah- syar'iah, yang meliputi pembahasan Al-Qur'an,
As-Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi,
al-'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus
syari'ah/ususus syari'ah.
c.
Tujuan Mempelajari Fiqih Dan Ushul Fiqih
1. Tujuan
mempelajari ilmu fiqih ialah:
Menerapkan hukum-hukum syariat islam terhadap perbuatan
dan ucapan manusia. Jadi, ilmu fiqih itu adalah rujukan (tempat kembali)
seorang hakim (qadhi) dalam keputusannya, rujukan seorang Mufti dalam fatwanya,
dan rujukan seorang mukallah untuk mengetahui hukuk syariat dalam ucapan dan
perbuatannya. Inilah tujuan yang dimaksudkan dari semua undang-undang untuk
ummat manusia, karena dari undang-undang itu tidak dimaksudkan kecuali untuk manerapkan
materi hukumnya terhadap perbuatan dan ucapan manusia. Selain itu juga untuk
membatasi setiap mukallaf terhadap hal-hal yang diwajibkan atau diharamkan
baginya.
2. Tujuan
mempelajari ilmu Ushulul Fiqih ialah:
Menerapkan
kaidah-kaidah dan pembahasannyaterhadap dalil-dalil terinci untuk mendatangkan
hukum syariat islam yang di ambil dari dalil-dalil tersebut. Jadi dengan kaidah
dan pembahasan ilmu ushulul fiqih, dapat dipahami nash-nash syai’iyah dan
hukum-hukum yang dikandungnya.begitu pula dapat diketahui hal-hal yang menjadi
sebab dari pada hilangnya dalil yang samar di antara dalil-dalil tersebut. Juga
diketahui dalil-dalil yang dimenangkan ketika terjadi konflik di antara satu
dalil dengan dalil lainnya.
Dengan itu pula
dapat diistimbathkan smua hukum dengan metode al-Qiyas, atau al-Istihsan, atau
Istishhab atau lainnya terhadap suatu kejadian yang tidak terdapat nash bagi
hukumnya. Dan dapat pula benar-benar dapat dipahami hukuk-hukum yang telah
diistimbathkan oleh para imam Mujtahidin. Pun pula dapat diadakan pertimbangan
di antara mazhab mereka yang berbeda mengenai hukum suatu kejadian. Karena
memahami hukum menurut hukum seginya, atau mengadakan pertimbangan di antara
dua hukum yang berbeda, tidak bisa terjadi kecuali dengan melihat dalil hukum, dan dari segi istimdad hukum dan dalilnya.
Dan itu tidak bisa terjadi kecuali dengan ilmu ushulul fiqih ia adalah sendi
daripada ilmu fiqih perbandingan (al-Fiqhul Muqorin).
Adapun salah seorang ulama meyimpulkan tujuan dari mempelajari
ushul fiqh dan fiqh ialah :
a. Untuk memahami islam serta Untuk mempelajari
hukum-hukum islam yang berhubungan dengan kehidupan manusia
b. Memperdalam pengetahuan dalam hukum-hukum agama
baik dalam bidang aqaid dan akhlaq maupun dalam bidang ibadah dan muamalat
c. Mengetahui huku-hukum Allah dengan jalan yakin
(pasti) atau dengan jalan dugaan (dhan atau perkiraan ) da untuk menghindari
taklid, yaitu mengikuti pendapt orang lain tampa mengetahui alasannya.
C. Syariat
Syari’at[7]
bisa disebut syir’ah. Artinya secara bahasa adalah sumber air mengalir yang
didatangi manusia atau binatang untuk minum. Perkataan “syara’a fiil maa’i”
artinya datang ke sumber air mengalir atau datang pada syari’ah.
Kemudian kata tersebut
digunakan untuk pengertian hukum-hukum Allah yang diturunkan untuk manusia.
Kata “syara’a” berarti
memakai syari’at. Juga kata “syara’a” atau “istara’a” berarti membentuk
syari’at atau hukum. Dalam hal ini Allah berfirman, “Untuk setiap umat di
antara kamu (umat Nabi Muhammad dan umat-umat sebelumnya) Kami jadikan
peraturan (syari’at) dan jalan yang terang.” [QS. Al-Maidah (5): 48]
“Kemudian Kami jadikan
kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) tentang urusan itu (agama), maka
ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang yang tidak
mengetahui.” [QS. Al-Maidah (5): 18].
“Allah telah
mensyari’atkan (mengatur) bagi kamu tentang agama sebagaimana apa yang telah
diwariskan kepada Nuh.” [QS. Asy-Syuuraa (42): 13].
Sedangkan arti syari’at
menurut istilah adalah “maa anzalahullahu li ‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa
lisaani rusulihil kiraami liyukhrijan naasa min dayaajiirizh zhalaami ilan
nuril bi idznihi wa yahdiyahum ilash shiraathil mustaqiimi.” Artinya,
hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah swt. melalui rasul-rasulNya yang
mulia, untuk manusia, agar mereka keluar dari kegelapan ke dalam terang, dan
mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus.
Jika ditambah kata
“Islam” di belakangnya, sehingga menjadi frase Syari’at Islam (asy-syari’atul
islaamiyatu), istilah bentukan ini berarti, ” maa anzalahullahu li ‘ibaadihi
minal ahkaami ‘alaa lisaani sayyidinaa muhammadin ‘alaihi afdhalush shalaati
was salaami sawaa-un akaana bil qur-ani am bisunnati rasuulillahi min qaulin au
fi’lin au taqriirin.” Maksudnya, syari’at Islam adalah hukum-hukum
peraturan-peraturan) yang diturunkan Allah swt. untuk umat manusia melalui Nabi
Muhammad saw. baik berupa Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi yang berwujud perkataan,
perbuatan, dan ketetapan, atau pengesahan.
Terkadang syari’ah Islam
juga dimaksudkan untuk pengertian Fiqh Islam. Jadi, maknanya umum, tetapi
maksudnya untuk suatu pengertian khusus. Ithlaaqul ‘aammi wa yuraadubihil
khaashsh (disebut umum padahal dimaksudkan khusus).
a. Pembagian Syari’at Islam
Hukum yang diturunkan melalui Nabi Muhammad saw. untuk segenap manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Hukum yang diturunkan melalui Nabi Muhammad saw. untuk segenap manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
- Ilmu
Tauhid, yaitu hukum atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan dasar-dasar keyakinan agama
Islam, yang tidak boleh diragukan dan harus benar-benar menjadi keimanan
kita. Misalnya, peraturan yang berhubungan dengan Dzat dan Sifat Allah
swt. yang harus iman kepada-Nya, iman kepada rasul-rasul-Nya,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan iman kepada hari akhir
termasuk di dalamnya kenikmatan dan siksa, serta iman kepada qadar baik
dan buruk. Ilmu tauhid ini dinamakan juga Ilmi Aqidah atau Ilmu Kalam.
- Ilmu
Akhlak, yaitu peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pendidikan dan
penyempurnaan jiwa. Misalnya, segala peraturan yang mengarah pada
perlindungan keutamaan dan mencegah kejelekan-kejelekan, seperti kita
harus berbuat benar, harus memenuhi janji, harus amanah, dan dilarang
berdusta dan berkhianat.
- Ilmu
Fiqh, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan
manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh mengandung dua bagian: pertama, ibadah,
yaitu yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan manusia dengan
Tuhannya. Dan ibadah tidak sah (tidak diterima) kecuali disertai dengan
niat. Contoh ibadah misalnya shalat, zakat, puasa, dan haji. Kedua,
muamalat, yaitu bagian yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan
antara manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh dapat juga disebut Qanun
(undang-undang).
b. Hukum Syara’
Hukum syara’
adalah “maa tsabata bi khithaabillahil muwajjahi ilaal ‘ibaadi ‘alaa
sabiilith thalabi awit takhyiiri awil wadh’i”. Maksudnya, sesuatu yang telah
ditetapkan oleh titah Allah yang ditujukan kepada manusia, yang penetapannya
dengan cara tuntutan (thalab), bukan pilihan (takhyir), atau wadha’.
Contoh hukum syara’,
perintah langsung Allah swt., “Tegakkahlah shalat dan berikanlah zakat!” [QS.
Al-Muzzamil (73): 20]. Ayat ini menetapkan suatu tuntutan berbuat, dengan cara
tuntutan keharusan yang menunjukkan hukum wajib melakukan shalat dan zakat.
Firman Allah swt., “Dan
janganlah kamu mendekati zina!” [QS. Al-Isra' (17): 32]. Ayat ini menetapkan
suatu tuntutan meninggalkan, dengan cara keharusan yang menunjukkan hukum haram
berbuat zina.
Firman Allah swt., “Dan
apabila kamu telah bertahallul (bercukur), maka berburulah.” [QS. Al-Maidah
(5): 2]. Ayat ini menunjukkan suatu hukum syara’ boleh berburu sesudah tahallul
(lepas dari ihram dalam haji). Orang mukallaf boleh memilih antara berbuat
berburu atau tidak.
Yang dimaksud dengan
wadha’ adalah sesuatu yang diletakkan menjadi sebab atau menjadi syarat, atau
menjadi pencegah terhadap yang lain. Misalnya, perintah Allah swt. “Pencuri
lelaki dan wanita, potonglah tangan keduanya.” [QS. Al-Maidah (5): 38]. Ayat
ini menunjukkan bahwa pencurian adalah dijadikan sebab terhadap hukum potong
tangan.
Bersabda Rasulullah
saw., “Allah swt. tidak menerima shalat yang tidak dengan bersuci.” Hadits ini
menunjukkan bahwa bersuci adalah dijadikan syarat untuk shalat.
Contoh yang lain, sabda
Rasulullah saw., “Pembunuh tidak bisa mewarisi sesuatu.” Hadits ini menunjukkan
bahwa pembunuhan adalah pencegah seorang pembunuh mewarisi harta benda si
terbunuh.
Dari
keterangan-keterangan di atas, kita paham bahwa hukum syara’ dibagi menjadi
dua, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukum taklifi adalah
sesuatu yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat, atau tuntutan untuk
meninggalkan, atau boleh pilih antara berbuat dan meninggalkan.
Contoh hukum yang
menunjukkan tuntutan untuk berbuat: “Ambilah sedekah dari sebagian harta
mereka!” [QS. At-Taubah (9): 103], “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.”
[QS. Al-Imran (3): 97].
Contoh hukum yang
menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan: “Janganlah di antara kamu
mengolok-olok kaum yang lain.” [QS. Al-Hujurat (49): 11], “Diharamkan bagimu
memakan bangkai, darah, dan daging babi.” [QS. Al-Maidah (5): 3].
Contoh hukum yang
menunjukkan boleh pilih (mudah): “Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi.” [QS. Al-Jumu'ah (62): 10], “Dan apabila kamu
bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat.” [QS.
An-Nisa' (4): 101].
Hukum wadh’i adalah yang
menunjukkan bahwa sesutu telah dijadikan sebab, syarat, dan mani’ (pencegah)
untuk suatu perkara.
Contoh sebab: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai siku-siku.” [QS. Al-Maidah (5): 6]. Kehendak
melakukan shalat adalah yang menjadikan sebab diwajibkannya wudhu.
Contoh syarat:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang
yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.” [QS. Ali Imran (3): 97].
Kemampuan adalah menjadi syarat diwajibkannya haji.
Contoh mani’ (pencegah):
Rasulullah saw. bersabda, “Pena diangkat (tidak ditulis dosa) dari tiga orang,
yaitu dari orang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia dewasa, dan
dari orang gila sampai ia sembuh (berakal).” Hadits ini menunjukkan bahwa gila
adalah pencegah terhadap pembebanan suatu hukum dan menjadi pencegah terhadap
perbuatan yang sah.
Hukum taklifi terbagi
menjadi dua, yaitu azimah dan rukhshah. Azimah adalah suatu hukum asal yang
tidak pernah berubah karena suatu sebab dan uzur. Seperti shalatnya orang yang
ada di rumah, bukan musafir. Sedangkan rukhshah adalah suatu hukum asal yang
menjadi berubah karena suatu halangan (uzur). Seperti shalatnya orang musafir.
Azimah meliputi berbagai macam hukum, yaitu:
- Wajib.
Suatu perbuatan yang telah dituntut oleh syara’ (Allah swt.) dengan bentuk
tuntutan keharusan. Hukum perbuatan ini harus dikerjakan. Bagi yang mengerjakan
mendapat pahala dan bagi yang meninggalkan mendapat siksa. Contohnya,
puasa Ramadhan adalah wajib. Sebab, nash yang dipakai untuk menuntut
perbuatan ini adalah menunjukkan keharusan. “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa.” [QS. Al-Baqarah (2): 183]
- Haram.
Haram adalah sesutu yang telah dituntut oleh syara’ (Allah swt.) untuk
ditinggalkan dengan bentuk tuntutan keharusan. Hukumnya bila dikerjakan
adalah batal dan yang mengerjakannya mendapat siksa. Contohnya, tuntutan
meninggalkan berzina, tuntutan meninggalkan makan bangkai, darah, dan
daging babi.
Selain itu
haram juga meliputi perbuatan-perbuatan manusia pada lingkungan sekitar, haram
apabila manusia tidak bisa mejaga lingkungan sekitar, dengan kata lain
manusia hanya ingin mendapat hasil dari
adanya hutan, dengan penebangan hutan liat, ataupun manusia tidak memperhatikan
terhadap kebersihan lingkungan, maka perbuatan semacam ini juga termasuk haram,
karena alasan ini sangat kuat adanya hal itu akan merusak ekosistem pada bumi
dan kerusakan besar. Q-30:41
tygsß ß$|¡xÿø9$# Îû Îhy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur
$yJÎ/
ôMt6|¡x. Ï÷r& Ĩ$¨Z9$#
Nßgs)ÉãÏ9 uÙ÷èt/
Ï%©!$#
(#qè=ÏHxå
öNßg¯=yès9 tbqãèÅ_öt
.
”telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi,
supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
Q -11:117
$tBur tb%2 /u Ï=ôgãÏ9 3tà)ø9$# 8Nù=ÝàÎ/ $ygè=÷dr&ur cqßsÎ=óÁãB
“dan
Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang
penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.”
Q- 16:33
ö4 $tBur â/àSyJn=sß ª!$# `Å3»s9ur (#þqçR%2 öNßg|¡àÿRr& cqßJÎ=ôàt
“dan Allah tidak Menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang selalu
Menganiaya diri mereka sendiri,”
Firman allah diatas cukup jelas meberi pemahaman
pada manusia agar senantiasa manusia menjaga kesimbangan alam, kebersihan
lingkungan, agar tidak terjadi kerusakan pada dunia kita, ini merupakan contoh
ilmiah dan sangat urgen satu sisi dari syariat islam.
- Mandub
(sunnah). Mandub adalah mengutamakan untuk dikerjakan daripada
ditinggalkan, tanpa ada keharusan. Yang mengerjakannya mendapat pahala,
yang meninggalkannya tidak mendapat siksa, sekalipun ada celaan. Mandub
biasa disebut sunnah, baik sunnah muakkadah (yang dikuatkan) atau ghairu
(tidak) muakkadah (mustahab).
- Makruh.
Makruh adalah mengutamakan ditinggalkan daripada dikerjakan, dengan tidak
ada unsur keharusan. Misalnya, terlarang shalat di tengah jalan. Yang
melaksanakannya tidak mendapat dosa sekalipun terkadang mendapat celaan.
- Mubah.
Mubah adalah si mukallaf dibolehkan memilih (oleh Allah swt.) antara
mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya, dalam arti salah satu tidak ada
yang diutamakan. Misalnya, firman Allah swt. “Dan makan dan minumlah kamu
sekalian.” Tegasnya, tidak ada pahala, tidak ada siksa, dan tidak ada
celaan atas berbuat atau meninggalkan perbuatan yang dimubahkan.
Apabila Allah swt.
menuntut kepada seorang mukallaf untuk melakukan sesuatu perbuatan lalu
perbuatan tersebut dikerjakannya sesuai dengan yang dituntut darinya dengan
terpenuhi syarat rukunnya, maka perbuatan tersebut disebut shahih. Tetapi
apabila salah satu syarat atau rukunnya rusak, maka perbuatan tersebut disebut
ghairush shahiih.
Ash-shahiih adalah sesuatu
yang apabila dikerjakan mempunyai urutan akibatnya. Contohnya, bisa seorang
mukallaf mengerjakan shalat dengan sempurna, terpenuhi syarat rukunnya, maka
baginya telah gugur kewajiban dan tanggungannya.
Ghairush-shahiih adalah
sesuatu yang dilakukannya tidak mempunya urutan akibat-akibat syara’.
Contohnya, seorang mukallaf mengerjakan shalat tidak terpenuhi syarat rukunnya,
seperti shalat tanpa rukuk. Kewajiban mukallaf mengerjakan shalat tersebut
belum gugur. Demikian pula kalau shalat dikerjakan tidak pada waktunya atau
mengerjakannya tanpa wudhu. Perbuatan-perbuatan yang dikerjakan tidak sesuai
dengan tuntutan Allah swt. dianggap tidak ada atau tidak mengerjakan apa-apa.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas
dapat disimpulkan bahwa fiqh secara harfiah fiqih
berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal. Beberapa ulama memberikan
penguraian bahwa arti fiqih secara terminologi yaitu fiqih merupakan suatu ilmu
yang mendalami hukum Islam yang diperoleh melalui dalil di Al-Qur'an dan
Sunnah. Selain itu fiqih merupakan ilmu yang juga membahas hukum syar'iyyah dan
hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari, baik itu dalam ibadah maupun
dalam muamalah.
sedangkan ushul fiqh adalah
“Pengetahuan mengenai kaidah-kaidah atau dalil umum untuk melakukan istimbath
(penggalian hukum).” Jadi sasarannya adalah membahas dan membuat kaidah, bukan
membahas rincian hukum atau menyimpulkan hukum dari dalil-dalil Alquran dan
hadits. Pembahasan mengenai rincian hukum dan pemahaman dalil-dalil rinci
Alquran hadits adalah tugas fiqh.
B.
Kritik
dan Saran
Berbicara masalah fiqh dan ushul fiqh yang sadah dijelasakan di
atas, kami penulis menyarankan kepada pelajar (mahasiswa), dan pembaca untuk
lebih meningkatkan belajar ushul fiqh karena ushul fiqh itu adalah asas/pondasi
bagi hukum Islam, maka dari itu kita dapat menganalisis dan memahami sebuah nass dan hadis denagan
menggunakan metode-metode yang ada diushul fiqh, sehingga kita dapat menetapkan
sebuah hukum yang dipermasalahka
Dari penjelasan di
atas kami penyusun meminta kepada para
pembaca kritik dan sarannya terhadap makalah ini baik dari pembuatan,
penulisan, dan penyusunan, karena kami adalah manusia biasa yang tak luput dari
kesalahan dan lupa.
DAFTAR
PUSTAKA
At-tarimi, syehk ahmad, fiqh islam dasar.bursa ilmu, Surabaya
2001
Rifa’i muhammad. Ushul fiqh,:
PT al-ma’arif, Bandung. 1973
Koto, Alaiddin, ilmu fiqh dan ushul fiqh, PT raya grafindo persada, Jakarta
2004.
Maula Aizul , fiqh. Uranus Publishing tambun selatan, Bekasi 17510.
2011
Khallaf Wahab Abdul , kaidah kaidah hukum islam ilmu ushul fiqh PT Raja
Gravindo Persada Jakarta.
Syafi’e Rahmat, ilmu ushul fiqh. CV Pustaka Setia, 2010
[1] Prof. Dr. H.Alaiddin Koto, M.A. ilmu
Fiqh Dan Ushul Fiqh (PTRaja Grafindo:Jakarta 2004) hlm.2
[2] Drs.Moh.Rifai, Ushul Fiqh (PT
Al Maarif :Bandung), hlm.5
[3] Prof. Dr. H.Alaiddin Koto, M.A. ilmu
Fiqh Dan Ushul Fiqh (PTRaja Grafindo:Jakarta 2004) hlm.5
[4] Prof. Dr. H.Alaiddin Koto, M.A. ilmu
Fiqh Dan Ushul Fiqh (PTRaja Grafindo:Jakarta 2004) hlm.5
[5] Syekh Ahmad Bin Umar At-Tarimi, Fiqh
Islam Dasar(Bursa Ilmu: Surabaya2001),
hlm.8
[6] Drs.Moh.Rifai, Ushul Fiqh (PT
Al Maarif :Bandung), hlm.6
Tag :
pendidikan
0 Komentar untuk "Pengertian Fiqh dan Ushul Fiqh"