Bukan suatu hal yang berlebihan apabila
seseorang mengatakan bahwa Islamisasi Madura berjalan sukses sehingga berhasil
dan kini tak seorang pun penduduk Madura yang bukan Muslim. Kalau pun ada yang
bukan Muslim, maka bisa dipastikan mereka itu pendatang baru. Namun, sejak
kapan dan bagaimana semua itu bermula, amat sukar dirajut dengan sempurna.
Ibarat benang kusut, sejarah proses Islamisasi Madura ini belum dan tidak
terdokumentasi dengan rapi. Mitos dan legenda banyak mewarnai kisah-kisah
seputar Islamisasi penduduk pulau garam ini. Beberapa kajian akademis yang
hadir belakangan terlalu banyak yang mengangkat Madura dari segi budaya an
sich, sehingga terkesan melupakan peran tokoh-tokoh ulama-ulama yang
membawanya. Tulisan ini berusaha mengungkap sejarah Islamisasi Madura pada
periode awal, yaitu masa peralihan agama primitif orang Madura kepada Islam.
A.
Agama Primitif Madura
Terletak di seberang timur laut pulau Jawa,
pulau Madura dikatakan mulanya hanya terdiri dari gundukan-gundukan tanah yang
kadang tampak hijau dari kejauhan tatkala air laut surut namun ‘hilang’ dari
pandangan bila air laut pasang. Sebab itulah orang Jawa menyebutnya “Lemah
Dhuro” yakni tanah yang tidak sesungguhnya; kadang terlihat dan kadang raib.
Bahkan sampai sekarang pun masih ada orang Jawa yang memanggil orang Madura itu
“Wong Dhuro”.
Sejarah lisan (legenda) masyarakat Madura
mengatakan bahwa nenek moyang penduduk Madura berasal dari pulau Jawa, yaitu
Raden Segoro, putra seorang raja dari negara Medangkamulan di dekat gunung
Semeru dan Bromo. Meski sukar untuk dipastikan
historisitasnya, keberadaan tokoh Raden Segoro dan Kyai Poleng begitu kuat
dipercaya oleh masyarakat turun-temurun. Maka tak mengherankan kalau sejarah
Madura terkait erat dengan sejarah Jawa. Kerajaan-kerajaan Madura sejatinya
merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan besar di Jawa, mulai dari Kediri,
Singasari, Majapahit dan Mataram. Oleh karena itu, pada zaman pra-Islam,
penduduk Madura umumnya beragama Hindu-Buddha, sebagaimana masyarakat Jawa pada
umumnya.
Ahli-ahli sejarah mengakui sulitnya
merekonstruksi zaman Hindu-Buddha di Madura ini karena kelangkaan sumber
sejarah. Hanya ada beberapa candi baik di Pamekasan dan Sumenep sebagai bukti
bahwa agama Hindu-Budha pernah dianut masyarakat Madura. De Graaf, misalnya,
mengatakan bahwa merekonstruksi sejarah Jawa, termasuk Madura, ibarat menimba
di sumur yang keruh airnya. Diperkirakan
pengaruh Hindu-Budha yaitu sejak tahun abad ke 9, sejak berkembangnya cerita
Raden Segoro, sampai sekitar abad ke 15, yakni setelah mulai berkembangnya
masyarakat mengenal Islam lalu memeluknya. Pengaruh kuat Hindu-Budha juga diperkuat
dengan adanya catatan bahwa di abad-abad itu secara berturut-turut Madura di
bawah pengaruh Kediri (1050-1222), Singosari (1222-1292) dan Majapahit
(1294-1572), yang kesemuanya beragama Hindu dan Budha. Sebab itu, istilah “Madura” tidak jarang
disebut-sebut dalam tulisan-tulisan orang Hindu sebagaimana dalam Pararaton
yang menyebut istilah “Madura Wetan”, Madura bagian timur, yakni Sumenep.
Sampai di sini agama primitif orang Madura bisa
dipastikan tidak jauh berbeda dengan masyarakat Jawa pra Islam, yaitu
Hindu-Budha. Adapun agama selain itu adalah agama baru yang datang kemudian,
termasuk Islam dan Kristen. Selanjutnya akan dijabarkan proses Islamisasi
Madura.
B.
Islamisasi Madura
Proses Islamisasi Madura boleh dibilang suatu
proyek dakwah yang menuai hasil yang luar biasa. Proyek dakwah ini sebenarnya
adalah kelanjutan dari mega proyek Islamisasi Nusantara yang sangat massif di
antara abad ke-7 hingga abad ke-15 melalui tangan-tangan ikhlas para juru
dakwah yang di Jawa dikenal dengan Wali Songo. Madura juga menjadi bagian
agenda mega proyek ini.
Namun demikian, sepertinya perlu kerja keras
untuk membangun sejarah Islamisasi Madura ini agar tersusun secara utuh. Hal
ini karena fakta telah berbaur dengan legenda. Stories, myths and legends
are to be foundin abundance, kata Lik Arifin Mansurnoor, dalam
penelitiannya tentang peran ulama dalam Islamisasi Madura. Oleh karenanya,
bukan suatu yang mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: sejak kapan
Islamisasi Madura? Siapa yang pertama kali menyebarkan Islam di Madura? Melalui
apa penyebarannya? Bagaimana cara konversi masyarakat dari agama primitif
mereka kepada agama Islam? Setidaknya, ada dua jalur Islamisasi Madura yang
bisa dielaborasi, yaitu jalur kerajaan dan jalur para da’i atau yang lebih
dikenal para Sunan.
C.
Jalur Kerajaan
Jalur kerajaan adalah teori yang menggambarkan
bahwa Islamisasi Madura itu melalui para pemimpin dan bangsawan kerajaan.
Karena raja-rajanya Islam, maka keturunannya ikut Islam dan diikuti oleh
penduduk di bawahnya yang juga memeluk Islam.
Ada beberapa pendapat tentang hal ini. Di
bagian timur Madura, yaitu Sumenep menyebutkan Islam sudah masuk ke Sumenep
sejak Panembahan Joharsari, penguasa Sumenep dari tahun 1319 hingga 1331
Masehi. Panembahan Joharsari mempunyai putra bernama Raden Piturut yang
bergelar Panembahan Mandaraka yang juga diyakini beragama Islam. Bukti
keislamannya adalah makamnya sudah berbentuk Islam yang terletak di desa
Mandaraga, Keles, Ambunten. Panembahan Mandaraka yang berkuasa sampai 1339 M
mempunyai dua putra yaitu Pangeran Natapraja bertahta di Bukabu dari thn
1339-1348 M dan Pangeran Nataningrat yang menggantikan kakaknya dengan karaton
Baragung, Guluk-Guluk. Pangeran Nataningrat berputra Agung Rawit yang bergelar
Pangeran Sekadiningrat I yang memerintah thn 1358-1366 M dengan keraton di
Banasare. Kemudian ia diganti oleh putranya yaitu Temenggung Gajah Pramada yang
bergelar Sekadiningrat II yang memerintah thn 1366-1386 M. setelah itu ia
diganti oleh cucunya yang bernama Jokotole atau Aria Kudapanole yang bergelar
Sekadiningrat III.
Namun sepertinya masih terlalu lemah pembuktian
keislaman penguasa-penguasa Sumenep di atas karena minimnya bukti empiris yang
mendukung. Ditambah lagi, ada yang mengatakan, Jokotole atau Aria Kudapanole
yang berkuasa sejak tahun 1415-1460 M baru masuk Islam kemudian melalui Juru
Dakwah yang dikenal dengan Sunan Paddusan. Nama Asli sunan ini adalah R.
Bindara Dwiryapada anak dari Haji Usman Sunan Manyuram Mandalika, penyebar
agama Islam di Lombok. Sunan Paddusan kemudian diambil menantu oleh Jokotole.
Sementara itu, teori kerajaan lainnya adalah di
Madura bagian Barat. Menurut beberapa sumber, Prabu Brawijaya ke V, yakni Prabu
Kertabumi, yaitu Raja Majapahit yang memerintah antara tahun 1468–1478 M telah
memeluk Islam. Dari permaisurinya yang bernama Ratu Dworowati dikarunia putra
bernama Raden Ario Lembu Petteng. Ario Lembu Petteng kemudian menjadi Kamituo
di Madegan Sampang. Sementara legenda lain menyebut putra Prabu Kertabumi
lainnya bernama Ario Damar (menjadi adipati di Palembang) mempunyai putra yaitu
Raden Ario Menak Senoyo. Ario Menak Senoyo ini kemudian meninggalkan Palembang
dan menetap di Madura, tepatnya di Parupuh (sekarang Proppo). Kisah Madura
bagian Barat ini bermula dari kisah mereka berdua. Mereka masih setia dengan
agama primitifnya, yaitu Hindu. Sebagai bukti, di sana terdapat puing-puing
candi yang gagal dibangun. Orang menyebutnya Candi Burung (“burung” dalam
bahasa Madura bermakna gagal).
Ario Lembu Petteng sudah mulai tertarik dengan
agama baru yang waktu demi waktu tambah ramai dianut orang, utamanya di
lingkungan bangsawan Majapahit. Lalu kemudian ia memeluk Islam pada tahun 1478
M. setelah menjadi santri dari Sunan Ampel. Sebelumnya ia hanya mengutus
bawahannya untuk belajar Islam ke Sunan Ampel. Namun ternyata anak buahnya itu
sudah keduluan masuk Islam. Tidak mau ketinggalan, ia kemudian berangkat sendiri
ke Ampel Delta dan nyantri kepada Sunan Ampel. Akhirnya ia memeluk Islam dan
tidak sempat pulang lagi ke Sampang karena keburu meninggal dan dimakamkan di
Ampel. Namun, menurut cerita lain, di masanya ia menetap di Sampang inilah
Sunan Giri mengutus Syekh Syarif, yang juga dikenal dengan Khalifa Husein,
untuk membantunya untuk merangkul para pengikut baru di pulau tersebut.
Lembu Petteng meninggalkan dua putra dan satu
putri. Mereka adalah Raden Ario Manger, Raden Ario Mengo dan Retno Dewi. Lalu
kemudian Raden Ario Manger menggantikan bapaknya sebagai Kamituo di
Madegan Sampang. Ia mempunyai tiga orang putra, yaitu Kyai Ario Langgar, Kyai
Ario Panengah, Kyai Ario Pratikel. Namun, tidak semua keturunan Lembu Petteng
memeluk Islam. Tercatat Ario Mengo tetap menganut Budha dan oleh karenanya
masyarakatnya masih kuat menganut agama ini. Ario Mengo lah yang membuka hutan
di sebelah timur dari kerajaan bapaknya, yaitu di daerah Pamelingan (sekarang
Pamekasan). Dialah yang memerintah pertama kali di sana dengan gelar Kyai
Wonorono di mana tempat keratonnya berada di daerah Lawangan Daya sekarang.
Dua keturunan Prabu Kertabumi Barawijaya V ini
kemudian menjadi satu kembali pada perkawinan antara Raden Ario Pojok dari
garis keturunan Raden Ario Damar dengan Nyai Budho dari garis keturunan Raden
Ario Lembu Petteng. Dari perkawinannya ini dikarunia lima anak yang salah
satunya adalah bernama Kyai Demang yang kemudian memimpin Plakaran Arosbaya,
Bangkalan. Kyai Demang kawin dengan Nyi Sumekar mendirikan Kraton di kota
Anyar. Dari perkawinannya itu kemudian mereka dikarunia lima orang putra,
yaitu: (1) Kyai Adipati Pramono di Madegan Sampang; (2) Kyai Pratolo disebut
juga Pangeran Parambusan; (3) Kyai Pratali atau disebut juga Pangeran Pesapen;
(4) Pangeran Paningkan disebut juga dengan nama Pangeran Suka Sudo; dan (5)
Kyai Pragalba yang kemudian dikenal dengan nama Pangeran Plakaran karena
bertahta di Plakaran.
Menurut catatan sejarah, penguasa Plakaran ini
masih enggan memeluk Islam, walaupun Islam sudah menjadi buah bibir sebagian
besar masyarakatnya, termasuk putranya sendiri Raden Pratanu. Namun demikian,
ia tidak melarang putranya belajar ilmu Islam kepada Sunan Kudus. Oleh karena
itu, agama Islam masih menemukan rintangan berkembang di Madura bagian Barat ini
karena keengganan Raden Pragalbo untuk memeluk Islam. Di penghujung usianya,
Raden Pratanu membujuk bapaknya agar mengucapkan dua kalimat syahadat. Saat
itulah Raden Pragalbo wafat setelah beberapa saat sebelumnya menganggukkan
kepala tanda setuju dengan bimbingan anaknya. Mengangguk dalam bahasa Madura
disebut onggu’. Sejak itulah, menurut legenda ini, Raden Pragalbo
kemudian lebih dikenal dengan Pengeran Islam Onggu’.
Panembahan Pratanu yang bergelar Lemah Dhuwur
ini adalah pendiri kerajaan kecil yang berpusat di Arosbaya, sekitar 20 km dari
kota Bangkalan ke arah utara. Diperkirakan, Panembahan Pratanu dinobatkan
sebagai raja pada tahun 1531 setelah ayahnya, Raja Pragalbo, meninggal dunia.
Sebagaimana disebutkan di atas, walaupun sang Bapak masih enggan masuk Islam,
namun ketika Pratanu masih dalam masa mudanya ia pernah bermimpi didatangi
orang yang memintanya agar memeluk agama Islam. Mimpinya disampaikannya kepada
sang ayah, lalu sang ayah mengirim Patih Empu Bageno untuk mempelajari Islam di
Kudus. Tidak tanggung-tanggung, sang Patih belajar Islam sungguh-sungguh sampai
akhirnya memeluk agama ini dan kembali ke Arosbaya. Dari dialah Pratanu
mengenal Islam dan iapun masuk Islam. Diperkirakan, setelah keislaman sang
pangeran, ia bersama Empu Bageno kemudian menyebarkan agama baru itu ke seluruh
warga Arosbaya. Dilihat dari masanya, di mana ia diperkirakan lahir tahun 1531
dan meninggal tahun 1592, Panembahan Pratanu termasuk raja pertama di Madura
Barat ini yang masuk Islam dan menyebarkannya.
Di Pamekasan, Raja yang tercatat sebagai
penganut Islam pertama adalah Panembahan Ronggosukowati. Menurut catatan
sejarah pamekasan, di masa muda Ronggosukowati pernah belajar kepada Sunan Giri
atau Raden Paku. Oleh karena itu, bisa dipastikan Ronggosukowati muda ini sudah
Muslim. Dialah yang kemudian menggantikan Bapaknya, yaitu Panembahan Bonorogo,
karena usia yang sudah lanjut. Namun, kepulangan Ronggosukowati ke Pamekasan
tidaklah sendirian. Konon Sunan Giri menyertakan muballigh bersamanya untuk
menyiarkan Islam di Pamekasan yang bernama Sayyid Muhammad bin Abdurrahman bil
Faqih. Bersama muballigh itulah Ronggosukowati mengislamkan Pamekasan.
Sejauh penulis telusuri, pada periode awal,
memang Madura berada di bawah kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Jawa. Itu
diperkirakan antara abad ke 10-15. Di antara masa-masa ini aroma dakwah Islam
sudah masuk ke Jawa yang mengakibatkan beberapa orang masuk Islam, utamanya
daerah-daerah pesisir pantai utara jawa. Akibatnya, Madura juga menjadi bagian
terpenting dari proses Islamisasi ini melalui islamnya kalangan bangsawan di
kala itu. Sehingga, sekitar abad ke 16 dan seterusnya, semua kerajaan dan
begitu juga masyarakatnya sudah Islam, utamanya setelah penguasaan Mataram atas
kerajaan-kerajaan Madura antara abad ke 16-17.
Tag :
madura-zone
0 Komentar untuk "Kronologi Islam di Madura, Agama Primitif Madura, Islamisasi Madura, Jalur Kerajaan"