Kepemimpinan Pondok Darul Ulum Sumber Lompang dipegang oleh seorang kiai yang memiliki
wewenang dan tanggung jawab dalam menjalankan tugas kepemimpinan. Hal itu berbeda
dengan dua pesantren sebelumnya yang menggunakan istilah “mudir” bagi
pimpinan pondok pesantren. Hal lain yang juga sama dari pondok pesantren
tradisional umumnya.
Berdasarkan
struktur kepengurusan di Pondok Pesantren Nurul Iman, terlihat bahwa model
kepemimpinannya adalah model kepemimpinan kolektif-pasif. Hal itu terlihat dari
susunan pengurus yang berada di pesantren. Dikatakan pasif karena kolektivitas
kepemimpinan di pondokpesantren tersebut lebih didominasi kiai sebagai pimpinan
pesantren. Sedangkan tipe kepemimpinannya identik dengan kepemimpinan
karismatik (charismatic leader), karena kiailah yang memimpin dan
mengelola pesantren. Sebagai figur karismatik, kiai adalah pimpinan informal
yang dipilih, diakui, dihormati, disegani, dan ditaati serta dicintai para
santri dan komunitas pesantren serta masyarakat secara luas.
Kiai sebagai salah satu unsur
dominan dalam kehidupan sebuah pesantren. Ia mengatur irama pekembangan dan
keberlangsungan kehidupan suatu pesantren dengan keahlian, kedalaman ilmu,
karisma, dan keterampilannya. Tidak jarang sebuah pesantren tidak memiliki
manajemen pendidikan yang rapi, sebab segala sesuatu terletak pada
kebijaksanaan dan keputusan kiai.
Seorang
kiai dalam budaya pesantren memiliki berbagai macam peran, termasuk sebagai
ulama, pendidik dan pengasuh, penghubung masyarakat, pemimpin, dan
pengelola pesantren. Peran yang begitu kompleks tersebut
menuntut kiai untuk bisa memosisikan diri dalam berbagai situasi yang dijalani.
Dengan demikian, dibutuhkan sosok kiai yang mempunyai kemampuan, dedikasi, dan
komitmen yang tinggi untuk bisa menjalankan peranperan tersebut.
Di
pondok pesantren darul ulum dipimpin oleh Kiai H. Abd. Rosyid Hasbullah, beliau
sebagai figure utama yang memimpin pesantren dari tahun 1990-sekarang, beliau
ulama sekaligus tokoh masyarakat di desa Ambender yang perannya di bidang
pendidikan tidak bisa dikesampingkan. Kesejahteran pendidikan dan keagamaan
telah beliau ciptakan di desa ambender dan terbukti terhadap masyarakat.
Eksistensi
kiai sebagai pemimpin pesantren, ditinjau dari tugas dan fungsinya, dapat
dipandang sebagai sebuah fenomena yang unik. Dikatakan unik karena kiai sebagai
pemimpin sebuah lembaga pendidikan Islam tidak sekadar bertugas menyusun
kurikulum, membuat peraturan atau tata tertib, merancang sistem evaluasi,
sekaligus melaksanakan proses belajar-mengajar yang berkaitan dengan ilmu-ilmu
agama di lembaga yang diasuhnya, melainkan pula scbagai pembina dan pendidik
umat serta menjadi pemimpin masyarakat.[1]
Peran
yang begitu sentral yang dilaksanakan oleh kiai seorang diri menjadikan
pesantren sulit berkembang. Perkembangan atau besar-tidaknya pesantren semacam
ini sangat ditentukan oleh kekarismaan kiai pengasuh. Dengan kata lain, semakin
karismatik kiai (pengasuh), semakin banyak masyarakat yang akan berduyunduyun
untuk belajar bahkan hanya untuk mencari barakah dari kiai tersebut dan
pesantren tersebut akan lebih besar dan berkembang pesat.
Kiai
Abd. Rosyid dalam memimpin pesantren merupakan tokoh sentral dalam pengambilan
keputusan, namun sebelum memberrikan keputusan sebagaimana yang kami dengar
dari menantu beliau kiai Ach. Ruf’ie dalam menentukan keputusan terlebih dahulu
melakukan rapat keluarga tanpa ada orang luar. Sehingga, keputusan tersebut
hanya anggota keluarga pesantren yang ikut berperan dalam pengambilan
keputusan.
Kepemimpinan
individual kiai inilah yang sesungguhnya mmewarnai pola relasi di kalangan
pesantren dan telah berlangsung dalam rentang waktu yang lama, sejak pesantren
berdiri pertama hingga sekarang dalam kebanyakan kasus. Lantaran kepemimpinan
individual kiai itu pula, kokoh kesan bahwa pesantren adalah milik pribadi
kiai. Karena pesantren tersebut milik pribadi kiai, kepemimpinan yang
dijalankan adalah kepemimpinan individual.[2]
Dengan
kepemimpinan semacam itu, pesantren terkesan eksklusif. Tidak ada celah yang
longgar bagi masuknya pemikiran atau usulan dari luar walaupun untuk kebaikan
dan pengembangan pesantren karena hal itu wewenang mutlak kiai. Hal seperti
inilah pola kepemimpinan pada pondok pesantren tradisional/salaf.
Model
kepemimpinan tersebut memengaruhi eksistensi pesantren. Bahkan belakangan ada
pesantren yang dilanda masalah kepemimpinan ketika ditinggal oleh kiai
pendirinya. Hal itu disebabkan tidak adanya anak kiai yang mampu meneruskan
kepemimpinan pesantren yang ditinggalkan ayahnya baik dari segi penguasaan ilmu
keislaman maupun pengelolaan kelembagaan. Karena itu, kesinambungan pesantren
menjadi terancam.[3]
Krisis kepemimpinan juga bisa terjadi ketika kiai terjun ke dalam partai
politik praktis. Kesibukannya di politik akan menurunkan perhatiannya terhadap
pesantren dan tugas utamanya sebagai pembimbing santri terabaikan, sehingga
kelangsungan aktivitas pesantren menjadi terbengkalai.
Adapun
pergantian kepemimpinan di pesantren dilaksanakan apabila kiai yang menjadi
pengasuh utama meninggal dunia. Jadi kiai adalah pemimpin pesantren seumur
hidup. Apabila kiai sudah meninggal, estafet kepemimpinan biasanya dilanjutkan
oleh adik tertua dan kalau tidak mempunyai adik atau saudara, biasanya
kepemimpinan langsung digantikan oleh putra kiai. Biasanya kiai mengkader
putra-putranya untuk meneruskan kepemimpinannya. Namun, jika kaderisasi itu
gagal, biasanya yang melanjutkan adalah menantu yang paling pandai atau
menjodohkan putrinya dengan putra kiai lain. Jadi tidak ada peluang masuknya
orang luar menjadi pemimpin pesantren tanpa memasuki jalur feodalisme kiai.
Dengan
demikian, jelas bahwa posisi kepemimpinan kiai adalah posisi yang sangat
menentukan kebijaksanaan di semua segi kehidupan pesantren, sehingga cenderung
menumbuhkan otoritas mutlak, yang pada hakikatnya justru berakibat fatal. Namun
profil kiai di atas pada umumnya hanyalah terbatas pada kiai pengasuh pesantren
tradisional yang memegang wewenang (otoritas) mutlak dan tidak boleh diganggu
gugat oleh pihak mana pun.
Kepemimpinan
kiai yang karismatik cenderung individual dan memunculkan timbulnya sikap
otoriter mutlak kiai. Otoritas mutlak tersebut kurang baik bagi
kelangsunganhidup pesantren, terutama dalam hal suksesi kepemimpinan.
Kaderisasi hanya terbatas keturunan dan saudara, menyebabkan tidak adanya
kesiapan menerima tongkat estafet kepemimpinan ayahnya.
Oleh
karena itu, tidak semua putra kiai mempunyai kemampuan, orientasi, dan
kecenderungan yang sama dengan ayahnya.Selain itu, pihak luar sulit sekali
untuk bisa menembus kalangan elite kepemimpinan pesantren, maksimal mereka
hanya bisa menjadi menantu kiai. Padahal, menantu kebanyakan tidak berani untuk
maju memimpin pesantren kalau masih ada anak atau saudara kiai, walaupun dia
lebih siap dari segi kompetensi maupun kepribadiannya. Akhirnya sering terjadi
pesantren yang semula maju dan tersohor, tiba-tiba kehilangan pamor bahkan mati
lantaran kiainya meninggal.
KH.
Abd. Rosyid adalah sosok kiai yang juga
Tokoh masyarakat. Tentu saja tanggung jawabnya jauh lebih besar ketimbang
seseorang yang hanya memiliki salah satu titel tersebut. Dalam perjalanan
hidupnya, dia menunjukkan kiprah dan peran dalam perkembangan agama Islam di
desa Ambender. Sebagai kiai, beliauberperan sebagai penjaga moral masyarakat
dengan menggunakan berbagai otoritas di berbagai lembaga keislaman.
Sementara
itu, bukti eratnya hubungan kiai dan masyarakat di sekitar Pondok Pesantren
Nurul Iman dapat dilihat denganbanyaknya sumbangsih masyarakat terhadap Pondok
PesantrenNurul Iman. Masukan itu baik yang bersifat materil maupunsumbangan
tenaga, masukan konstruktif terhadap kemajuanpesantren, dan tingginya peran
serta masyarakat ikut menjagakeamanan dan ketenteraman kehidupan pesantren
dalammenjalankan aktivitas keseharian.
Di
samping itu, peran kiai bagi masyarakat sekitar tampak padabimbingan keagamaan
oleh kiai dengan cara memberikan waktu dantempat untuk masyarakat datang ke
pondok pesantren mendengarkanwejangan dan ceramah agama dalam rangka pengisian
rohanimasyarakat terhadap ajaran agama Islam. Bagi masyarakat di sekitar Pondok
Pesantren Darul Ulum, sosok kiai dengan pribadi yangmelekat pada dirinya yang
dihiasi dengan akhlakul karimahmerupakan figur yang sangat dihormati. Dengan
demikian, apa pungerak-gerik yang dilakukan oleh kiai, dijadikan sebagai
teladan bagimasyarakat sekitar. Dengan demikian, legalitas otoritas yang
dimilikikiai merupakan otoritas karismatik yang muncul dari karisma
npribadinya.
[1] Imron Arifin, Kepemimpinan Kiai: Kasus
Pondok Pesantren Tebuireng, (Malang: Kalimasada Press, 1993), hlm. 45.
[2] Mujamil Qomar, Pesantren: Dari
Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga,
2004), hlm. 40.
[3] M. Dawam Rahardjo (ed.), Pergumulan Dunia
Pesantren: Membangun
dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), hlm. 114.
Tag :
pendidikan
0 Komentar untuk "Kepemimpinan PondokPesantren Tradisional di Ponpes Darul Ulum Ambender Pegantenan Pamekasan"