sebutan
Madura sebagai pulau seribu pesantren mungkin benar adanya. Pesantren. Tempat
menuntut ilmu yang diekspektasi tinggi karena daily activity terjadwal dan
mayoritas berkutat pada pengembangan diri. Imtaq dan iptek diikat dengan
seindah-indah akhlak. Penuntut ilmu yang disebut santri akan disebut berhasil
jika setidaknya ada perubahan, at least dari tutur kata. Kalau sebelumnya
intonasi suara agak tinggi dan memakai strata bahasa paling rendah (ada 3
tingkat strata bahasa Madura), maka bersiaplah mempersiapkan indra pendengar
menerima getaran kesopanan dengan lemah lembutnya beserta versi tingkat bahasa
yang pertama; abdhina-ajunan jika kalian berdekatan dengan santri yang berhasil
tadi.
Seperti
laiknya kerajaan, pesantren memiliki raja yang disebut kiai. Namanya raja,
pasti punya ratu. Mereka benar-benar memegang andil besar dalam peradaban
Madura. Tak diherankan, segala keputusan membutuhkan pikiran matang dengan
logika dan nalar nurani-oriented. Karena mereka pemimpin secara batin dan
teraplikasi secara zhahir. Raja dan ratu Madura dianggap ulama kudus; suci.
Jangankan perintah, permintaan mereka tidak boleh disanggah. Bagaimana akan
ditolak? Every decision is based on the most reasonable background. Belum lagi
konsep berkah. Semakin tunduklah rakyat jelata apalagi berotak awam pada setiap
mandat raja.
Kehati-kehatian
keputusan menyentuh setiap lini, termasuk dalam pernikahan keturunan mereka.
Ya. Tentu saja. Jangankan sekelas beliau-beliau, rakyat jelata saja pasti ingin
yang terbaik untuk anak-anak mereka sekalipun mereka bukan siapa-siapa. Dalam
sebuah hadits, wanita dinikahi karena 4 perkara. Keindahan rupa, berkelasnya
nasab keluarga, berlimpah harta, dan karena luhurnya agama. Kalau ingin
berbahagia asli, katanya sih, nikahilah karena alasan terakhir. Sistem witing
jalaran suku kulino berlaku selepas menikah. Jadi jangan menikah karena cinlok.
Kalau sudah tersebab keseringan bersama, biasanya pernikahan tersebut
berlandaskan keengganan melepaskan sesuatu yang sudah dibiasakan dan dalam zona
nyaman. Bercanda bersama. Makan bersama. Hang out bersama. Bahkan bonceng
bersama. Na;udzubillah. Zaman Rasul, para sahabat yang ingin menikah dan
menentukan karakter gadis yang menjadi target, bisa meneliti karakter ayahnya.
Buah jatuh tak bakal jauh dari pohon. Sepertinya hal itu pula yang menjadi
patokan para raja-ratu di pesantren untuk memilihkan jodoh untuk anak-anak
mereka. Cukup menjadi putra-putri mahkota dari pesantren tertentu, kalian sudah
berhasil masuk nominasi menantu.
“Itu
tidak adil, Li!”
Firga
menyanggah tulisanku yang baru kubaca separuh
“Kalau
orang-orang sempurna dari segi rupa, nasab, harta dan agama hanya berhak
menikahi dan dinikahi dari golongan kerajaan seperti yang kamu bilang, orang
biasa seperti kita tidak memiliki kesempatan dinikahi orang sempurna, dong?”
Firga
menggulung tangannya ke dalam dengan mimik wajah tak suka. Aku tersenyum dan
menari nafas panjang.
“Pertama,
kita harus memahami konsep tahu diri. Kita ini siapa sih? Ibadah kita sehebat
apa? Orang tua kita 5 waktu ke masjid? Berapa orang yang sudah kita dakwahi
untuk menjadi lebih baik? Hei, jangan-jangan iman kita masih fluktuatif. Moody.
Gak stabil. Kadang bagus, kadang menghempas drastis”
Firga
melihat ke atas. Sepertinya penjelasanku terterima
“Kedua,
semua orang berhak menjadi baik. Jadi percayalah, walau bukan keturunan
kerajaan, masih banyak rakyat biasa yang agamanya hanif. Berkorban banyak untuk
rakyat walau senyap dan memenuhi kategori. Mungkin ada yang sumbing entah dari
segi nasab atau yang lainnya tapi kalau agama sudah bagus. Ya, okelah”
“Aku
jadi teringat ceritamu. Patah hati luar biasa yang menimpa teman gurumu.
Padahal agamanya bagus, orangnya cakep tapi karena nasabnya biasa, anak petani,
gak diterima deh meminang putri kiai”
“Tapi
sekarang beliau bahagia dengan istri dan anak-anak yang cerdas, lucu dan sopan.
Istrinya sholelah. Baik dan pintar memasak. Well, baiklah, boleh aku lanjut?”
“You
may ”
Laily Komaril SyafriLia
Tag :
artikel
0 Komentar untuk "Madura Pulau Seribu Pesantren - Laily Komaril SyafriLia"